Rabu, 15 Oktober 2014
#EventFiksiMatahari2
____________________
'INSPIRASI SEMANGAT MATAHARI'
By: Lia Zee
Aku hampir terjatuh di jalan setapak, kakiku terantuk akar pohon ilalang yang menjalar di sepanjang badan jalan yang sempit ini. Siang yang terik, matahari berada dalam semangat puncaknya menyembur bumi dengan bola panasnya, melelehkan cairan dalam tubuhku. Langkahku pelan kulitku terasa lengket.
Selalu ada kerinduan, untuk melewati jalan ini. Jalan menuju kebun tanaman kopi kami. Dulu sangat akrab denganku.Saat aku masih bermukim di sini, kampung halamanku.
'' Leyyaa,!''. Aku tersentak kaget, celingukan mencari asal suara. '' Eih Tanta!1 Kaget nih." balasku setelah mataku bisa menangkap sosok Tanta Maradia di sela-sela kebun salak yang rimbun di samping kiri jalan. Dia adalah istri dari Om Badrun sepupu Bapakku .
''Kapan datang orang kota, nanti jalan-jalan ke rumah yah?.'' tanyannya beruntun "kemarin Tanta,,'' jawabku dibarengi tawa. Agak geli dengan istilah 'orang kota' hiks ....
Setelah basa basi sejenak aku kembali meneruskan langkahku. Jarak kebun kami sudah tidak jauh lagi.
'' Daunnya satu-satu mulai meranggas '' ucapku membuka percakapan dengan bapak dan Mamak malam ini sehabis makan ; Mamak,Bapak dan Rio sibungsu duduk di beranda luar rumah. Lampu 5 watt hanya mampu menjadikan suasana temaran seluas beranda. Di luar itu pekat.
'' Iya,bene 2*, kemarau tahun ini semakin panjang dari tahun-tahun sebelumnya .''
Sahut Bapak datar.Aku menangkap rasa khawatir di nada datar Bapak.
Keluarga petani seperti kami, akan selalu tergantung pada kemurahan alam. Sebagai petani kebun kopi dan Salak, kemarau seperti ini akan menurunkan tingkat produksi. Dampaknya tidak hanya dirasakan dimusim ini tapi masa musim berikutnya dan bisa jadi berikutnya lagi.
Tanaman bisa mati suri karna kemarau. Daun-Daunnya yang meranggas butuh semusim atau dua musim untuk bisa memulihkan batang dan daunnya untuk kembali normal. Ah...udara makin gerah, segerah pikiranku.
Aku melirik jam wekker di sampingku, 2:10 AM. Sudah larut, batinku. Cerpen yang sedang kugarap hampir di bagian ending. Kamar kiri kananku kosku senyap. Aku menggeliatkan badanku, mengharap penat dipunggungku enyah, karena kelamaan duduk.
Sepulang libur semerter dari kampung kemarin, aku telah bertekad untuk lebih serius menekuni bakat menulisku. Setidaknya honor dari tulisan-tulisankua bisa jadi dewa penolong jika kiriman Bapak semakin seret setiap bulan.
Nasip anak petani. Musim kemarau adalah musim paceklik. Aku sangat maklum, kesusahan
Bapak mengirimkan biaya kuliahku tetap sama di setiap bulan.
Hehehe....mungkin suatu saat harus ada program
bantuan khusus pemerintah bagi mahasiswa anak petani di masa paceklik. Kutepuk dahiku geli dengan ide ngawur di otakku.
Kubuka jendela kamar kosku sepagi ini, ada gigil merasuk tulang-tulangku. Tanpa sadar ada degup gelisah menyeruak tumpah pelan-pelan.
Gigil pagi tanda alam untuk kesombongan matahari bertahan bertahta dengan kekuatan cahaya penuhnya 'kemarau panjang'.
Tapi ah..kukibaskan gelisah dan prasangka burukku ke matahari. Selembar surat pemberitahuan dari salah satu perusahaan penerbit, tentang persetujuan menerbitkan antologi tunggal cerpenku, tergeletak manis
di atas meja belajarku.
.
' SEMANGAT MATAHARI.' Dua baris kata tercetak huruf kapital tertulis di kertas itu, kukerling dengan mata dan kueja pelan-pelan. Judul bukuku kelak.
Kuhela nafas lega. Kemarau dan Matahari telah memacu adrenalinku untuk menulis dan menulis. Matahari jadi sumber inspirasiku tulisanku. Kemudian kemarau jadi sumber semangatku, membantu meringankan gelisah Bapak dan Mamak dalam musim paceklik, tulisanku telah dapat menjadi sumber reseki bagi kelanjutan kuliahku.
Kubuka lebar-lebar jendela kamar kosku, sinar matahari pagi tanpa permisi menerabos masuk....
Makassar, 10 Oktober 2014
____________________
Note: Tanta1 = Tante
Bene 2 = panggilan anak perempuan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar