Kamis, 25 Desember 2014

Kepada yth: Puisi Essai 2014 CCa: Jurnal Sajak Di Tempat Hal: Surat Permohonan Maaf   Dengan hormat,       Bersama ini, saya kirimkan 1 (satu) buah karya puisi essai , berikut: Judul: Senandika Gadis Pemecah Batu Kokoh Batu Oleh: Lia Zaenab Zee Merupakan hasil asli (original) penciptaan saya, dan belum pernah dipublikasikan dan diikutkan di event/lomba apapun dan di manapun Dan sekaligus permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Terkirim, tidak  dalam bentuk 'attacment' seperti yang dipersyaratkan. Hal ini terjadi, karena perangkat tidak memungkinkan. Sebesar-besar harapan saya. Pihak redaksi memakluminya. Jikapun persyaratan attacment adalah bersifat mutlak, memohon dengan sangat, ketersediaannya, untuk mengirimkan pemberitahuan. Demikianlah, atas perhatiannya di ucapakan terima kasih. Hormat Saya Lia Sainab Asbar NB: Alamat:Komp. BTP Blok AA/129 Jln. Keindahan 10 90245 Tamalanrea Makassar, SULSEL. Mobile: 085242931445 -------------------------------- PUISI ESSAI ~LIA SAINAB ASBAR~ Judul: Senandika Gadis Pemecah Batu Kokoh Batu Oleh: Lia Zaenab Zee --- Kurang lebih sepuluh tahun kepergian Bapak Kurang lebih delapan tahun kepergian Emak Di mulut jendela, di ketinggian suatu gedung, di Ibukota Negeri ini Seorang gadis tercenung, dikerubuti potongan- potongan kenangan liku- liku hidupnya Kisah takdir setiap manusia Siapa yang sanggup membaca? ''Rabb, Cobaan dan takdir memberiku arah jalan pada ruas-ruas usiaku. Atas Kuasa-Mu, Aku berdiri di gedung megah ini sekarang. Usia 27 tahun, dalam nasib yang berbalik 100 persen, dari kira-kira sepuluh tahun silam.'' Gumam doa yang khusuk syahdu, kristal bening air mata terikut serta, sudah Keluar dari bibir, seorang Gadis cerdas berkulit putih yang ayu Siapa sangka, dulunya dia adalah gadis kampung yatim piatu Dengan gelar; ''Si Gadis Pemecah Batu'' Berloncatan kisah memenuhi udara sejuk harum ruang ber-AC; Kurang lebih sepuluh tahun lalu November di tengah perjalanan Masih teramat samar bayang awal pagi Gigil menggelitik nakal menyusup di sobekan carik selimut kumal, bekas Bapak dulu Ayam tetangga belumlah ribut Bau malam masih sedikit sisa Punggung ngilu menjalar Imbas kerja keras dan hati yang tercabik-tercabik; patah Sekuat batinnya dan jiwanya Nalar belianya dikokohkan Di tempa keras batu, kerasnya kehidupan sosial Dan sekeras-kerasnya mencari suap-suap nasi Cinta remaja pertama, Hempas berai, sudah Kasta papa mendinding tembok Mamat, tammatan D3 Sekolah Kesehatan, perjaka anak Pak Desa Tak pantas sanding, dengan gadis yatim piatu tak berwali kandung, putus sekolah pula, seperti dirinya Hanya gadis pemecah batu Cinta mencemoh, pada ketidakpantasan derajat Kepal tangan, tegar berlalu Tahu diri Masih rimbun ingatan Pekik pada kesepian belai kasih Sebatang kara memecahkan karang kehidupan Sekedar ntuk tempat curhat*1 Sekalipun tak punya Kala Bapak Emak masih ada Rupa pagi, dingin yang asa Akan selalu penuh keriangan bocah Bergegas menyiapkan buku, tas sekolah dan seragam tak pernah kenal setrika Meski buku kumal Masih sisakan halaman kosong Meski tas juga kumal, sedikit sobek, dan berjamur. Tapi masih kuat memuat buku yang tak seberapa buah Juga, memuat bungkusan sepatu sekolah Sepatu, tentu saja juga kumal Solnya sudah aus sebagian Tetap saja dibungkus (sepatu hanya dipakai saat di sekolah) Akh ..., nasib bocah jelata Tetap syukur Bahagia sederhana kaum papa waktu itu Kebahagian kecil terenggut Hari paling nestapa, jeguk Sang tulang punggung -laki-laki pemecah batu- Dia, Bapak Tergelincir di cekuk liuk lobang sungai, tempatnya bekerja Bersimpah darah kepala retak Di serakan bebatuan padas Dalam hilang kesadaran Rohnya berpulang, tak sempat mengucap pamit Emak pingsan, terguncang Hilang akal, hilang ingatan Calon adik keenam di rahim ikut-ikutan kalut terjerembeh Beriring Emak yang hilang sadar Adik janin juga menyusul kepergian Bapak Sekejap dunia menggulita pekat Akal bocahnya dipaksa berpikir keras, alih tanggungjawab Jelmakan dewasa sebelum waktunya Anak sulung punggung si sulung Belia usia tak memberi syarat Ntuk alasan memanja belia Tak beri ruang ntuk lemah di hadapan adik-adik Adik-adiknya masih kerap meraung-raung kehilangan Kehilangan pangkuan, belai tangan dan sandaran Yang tiba-tiba pergi Bapak sekaligus Emak Memberinya paham ntuk harus berdiri tegak, merengkuh adik-adiknya dalam pelukan Kala itu, usia anak tertua dua belas tahun tujuh bulan, Dia Si Gadis Sulung Adik keempat bungsu empat tahun lebih, balita yang belum tau apa-apa Diusia remaja hijau Terpanggang gerah keadaan, jadi pengganti Emak Bapak, sekaligus Kuasa Tuhan memihak Si Gadis Sulung, bisa lulus Sekolah Dasar dengan nilai tertinggi Di tengah jepitan hidup Dan dijengah tatapan haru biru sekitar Ditengah jatuh bangun memikirkan, bagaiman adik-adiknya bisa makan Ditambah bayang-bayang retak darah kepala Bapak Lalu miris kesakitan jiwa Emak Tertawa dan menangis tak kenal waktu Bagai lekat bayang mimpi buruk Belukar sesak di otak kepala kecilnya Emak tak pernah pulih lagi sejak hari nelangsa itu Sungguh-sungguh, hilang akal hilang dunia Atas belas kasihan warga, petugas desa, kerabat, tetangga, bla...bla...bla Pedih-pedih mereka sedikit jenak terpeluk Emak tertampung, di Rumah Sakit Jiwa pemerintah Juga berbekal welas asih berbagai pihak Tetangga yang kebanyakan sama-sama jelatanya Si Gadis Pemecah Batu dan adik-adiknya masih berpeluk nafas Sungguh linu, remaja putik Meruah keringat banting tulang di bawah perintah telunjuk orang Demi sesuap nasi Tanpa belai, tanpa arahan Bebatu tangan genggam derita Garis tangan sudah tertuliskan seperti itu, hendak berkata apa.? Bertahan kurang dua tahun setelah Bapak pergi, Emak menyusul, dalam damai Membawa ingatannya yang tak pernah kembali lagi Pun Si Gadis Sulung dan adik-adik telah siap, berdamai untuk disebut: ''Anak-anak yatim piatu.'' Terlipat waktu untuk lika-liku perih Mengemas seragam, Sekolah Menengah Pertama Baju putih bekas anak tetangga, yang sudah menguning Tammat sebelum disyahkan ijasah Guru-guru melepasnya dengan mata kaca, senyum iba tak berdaya Anak murid, gadis kecil cerdas digaris nasib yang miris Melambaikan tangan pada angka-angka cemerlang di Rapor Meredam gemuruh sesak, masa remaja dalam kecap cita-cita memunggunginya Tiada daya Dunianya lanjut Berubah jadi tulang punggung Adik-adiknya perlu makan Tak akan ada yang memberi suapan gratis selamanya Bertahan hidup Jalan satu-satu Dia pernah mempelajari di Sekolah Menengah Pertama di tahun pertama yang dinikmati hanya setengah, dulu ''Tangan di atas lebih mulia, dari tangan di bawah'' Singsingkan lengan baju Batukan cita Melawan kodrat Hawa Membunuh rasa malu Mengacuhkan tatap kasihan Tulikan cela jari lentik remaja ayu Dan gumam-gumam riuh dari sekitar Menemui bekas juragan Bapak Mula, Jadi gadis pemecah batu pangganti Bapak Ngilu punggung torehan rodi sore kemarin, gigil masih mengigit Tak tepis cita baja ntuk lanjut hari ini, esok dan esok Punggungnya dan tangannya tertoreh benang nafas adik adiknya Hidup terus berlanjut Gadis kecil segegas-gegasnya menjelma dewasa Yah, hari ini tepat 17 tahun Dalam kerasnya padas batu, sumber rejekinya Dalam tapak tangan yang kapalan bercumbu batu Gadis pemecah batu, Gadis pemecah kerasnya hidup Dengan dua kisah cinta yang telah lebamkan hati Sama-sama kapalan dalam luka fisik luka batin Paut pada lirik merah jambu jejaka tampan anak Juragan Hatinya terbilur rindu Terperangkap, menganalisa dan membaca gelagat Istri Juragan dengan tampang semakin kecut, selalu ''Rino anak sekolahan, temannya harus anak sekolahan....'' Keras ucap Istri Juragan suatu hari Meraba pada cerita cinta pertama Aku siapkan hati ntuk tercabik lagi Entah kenapa, atau malah sangat jelas, Si Gadis Pemecah Batu baca: terasa suatu ucap sindiran, cemoh tak sepadan Lagi-lagi ketidaksetaraan? Sehari sebelumnya, Rino anak Sang Juragan dan Si Gadis Pemecah Batu kepergok Istri Juragan mengobrol riang tanpa kasta suatu senja di jalan desa Bermasalah? Emak Rino bernaluri curiga Khawatir pada burai riang dalam senar gelak tawa mereka Sesungguhnya, Si Gadis meraba degup yang asing jalari dada, lebih talu dari degup yang dulu Nalurinya membaca Rindu menggantung sama, di kening dan bola mata sang jejaka, Si Rino anak Juragan Tahu diri Tahu diri bertalu lebih keras dari talu apapun saat itu Berdamai dengan keadaan Surat Rino tak pernah terbalas Berpuluh kali, hadangan dijalan Usaha-usaha temu, ditepis, disiasati berbumbu dan berpuluh-puluh alasan pula Si Gadis tak beri hatinya harap, 'sesuatu' Yang kemungkinan membuatnya berdarah hati, lalu patah rindu lagi Sudah cukup, pilu tak mesti ditambah- tambah Rino, Perjaka anak Juragan Merenda masa depan di suatu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Kebanggaan orang tua dan simbol martabat orang sekampung Tentu saja, calon pendamping haruslah yang 'pantas' Tidak berbicara pada pilihan hati Tapi berbicara pada keselarasan martabat alias level Hati mungkin tak berjarak Tapi ada jarak lain: Berjarak dalam ekonomi. Berjarak dalam ilmu Berjarak dalam kehidupan sosial Berjarak bla... bla... bla Dan yang terpenting ''Martabat harga mati'' Terbunuh putik rasa Si Gadis ntuk kedua kali Si Gadis, telah terlatih, terbiasa dan siap, menerima derita macam apapun ''Adik-adikku tetap bisa makan, urusan nomor satu.'' Bisiknya suatu senja pada semilir angin, di hadapan pusara Bapak Emak Putik cinta remaja gugur lagi Membuangnya, melambaikan tangan, memusnahkan bibitnya Sambil menata hati menambah tatakan batu hati, berlukiskan ketegaran Remaja ayu dalam belukar kisah yang perih, harus kuat Ada yang lebih batu dari sekedar cinta yang diributkan Kasta yang tak sebanding Lalu remukan hati yang serpih patah Di angan Bisa melanjutkan sekolah lagi Gelisah yang lebih gelisah Jadi pintar lebih 'benak' dari hanya sekedar jadi anak mantu Pak Desa atau anak mantu Sang Juragan Jadi pintar, punya Ijasah Akan memberi ruang memilih Memilih kerja yang lebih paham kodrat manusiawi perempuan Kerja yang memberinya marwah'*2 Buat Perawan Desa yatim piatu sepertinya Yang terpenting titelnya akan jelma 'martabat', yang selama ini telah menguburnya dalam keterbatasan harap,ruang cita, dan kehidupan sosial Gadis Pemecah Batu Yang jadi titelnya selama ini Status, yang selalu melahirkan tatap kasian tikaman keminderan Lalu merubah jadi cerita Lalu berubah jadi gossip Lalu terakhir berlabuh sesak diam pasrah sesak dalam dada Dan menaruhnya dalam kasta lingkaran sosial terendah Hari ini dan entah sampai kapan Lekatan kasta sosial terendah menimbunnya Yang jelas, lekat pekat berpeluh lenguh tegar, masih sahabat paling setia saat itu Bertahan hidup, prioritas pertama Diketiaknya, tempat adik-adik berlenguh kesah Di tangannya sumber sesuap nasi Jika lapar, siapa yang perduli? Nafas Baja tekad batu Jadi pemecah batu Pagi ini, pagi berikutnya dan berikutnya, entah sampai kapan? Satu tahun sebelas bulan Ada suluh obor kecil dihati Namanya terdaftar untuk ikut Paket C Kabupaten Damba yang megah syukur Yang terapal di doa-doa malam Merayu Tuhan, Ijasah dan pintar -Sekolah Menengah Atas- Bukankah standar kasat mata tanpa undang-undang tertulis? Derajat diukur dari bibit asalmu Kemudahan urusan, diukur dari siapa kamu? Kehormatan disebut pada titel yang semat dinamamu Wibawamu terukur dari berapa banyak duit yang bisa kau kuasai Jodoh kisah Cinderalla Sang Putri Abu, hanya dongeng pengantar tidur Dongeng yang diciptakan ntuk memberi senyum pada 'keputusasaan' yang tak tertawar Hal ini telah tammat terpaham oleh Si Gadis, jauh-jauh sebelum waktunya dipelajari ''Bab pelajaran hidup yang paling cepat tammat kubaca'' Curhatnya pada diary (buku biasa tak indah seperti buku diary yang seharusnya) suatu pagi di saat patah hatinya yang pertama Tuhan tidak membedakan manusia ciptaanNya Ego dan aturan manusialah yang menciptakan aturannya sendiri Menyalahi aturan Tuhan? Diskriminasi antar sesama manusia adalah laku paling purba Perjuangan menegakkannya adalah perjuangan yang juga sama-sama purbanya, tanpa akhir Selalu ada patriot disetiap masa Darahnya teralir juang anti diskriminasi sampai liang lahat Tapi semua hal di dunia berpasangan Setiap patriot punya musuh Yang taruh baja melawan patriot Mungkin, seperti pahlawan cahaya dan pahlawan kegelapan, entah Bagi Si Gadis Pemecah Batu Berada dalam pandangan kasian dan hinaan, tak bermartabat, telah mendarah daging di kalbu, sudah terlalu biasa Seperti itu, bara semangat tak lantas mundur patah arang Juang tetap meng-api kobar di jiwa ''Apakah aku bisa disebut Pahlawan Cahaya dalam senyap.?'' Dialognya; bersenandika kerap hantam kalbunya Pantang mundur adanya Celah setitik apapun dituntutnya Suluh sekecil apapun akan dicari arah titik terangnya Gadis pemecah batu, tegar batu Pada padas cita batu Enam tahun kemudian Toga telah bertengger di kepala Keajaiban selalu ada, menyapanya; Suatu lembaga amal bergerak di berbagai bidang salah satunya bidang pendididkan, bersedia memberinya beasiswa penuh Bermula lewat liputan profil, perjuangan, peluh batu Si Gadis Pemecah Batu Liputan suatu; Stasiun Televisi Swasta Cumlaude, ... Cumlaude! Setidaknya satu pintu terbuka Kertas ijasah senjata tarung termiliki apik Melelehkan sebagian partikel diskriminasi yang menyelimut selama ini Tidak ada yang mustahil Bila diniatkan baik dipinta melangit Dan dicamkan setegar baja Peluh batu, kokoh dada Lalu diikhtiarkan sebatu-batunya Rabb sedekat urat leher Maha Mendengar Dia Maha Pengatur Maha Adil Makassar,16 Desember 2014 --------------------------------- Be Continues... Page 2 ---»

Tidak ada komentar:

Posting Komentar